BLT Versus Pelayanan Publik -Ali Khomsan-



 Artikel 3
          Dalam Artikel Ali Khomsan yakni BLT  Versus Pelayanan Publik” disini membahas mengenai program pemerintah yang manakah yang perlu diperhatikan, apakah program BLT yang telah dilakukan pemerintah telah tepat dalam mengatasi masalah rakyat, atau malah hanya sebagai meninabobokan rakyat. Belum lagi kondisi pelayanan public yang masih belum memenuhi standar juga memiliki kepentingan yang sama untuk diperbaiki dalam  memenuhi keinginan masyarakat. Dalam hal inilah muncul permasalahan mengenai program BLT serta perbaikan dalam  pelayanan public di dalam masyarakat.
Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah sebuah program kompensasi untuk kelompok miskin ketika terjadi sebuah guncangan ekonomi yang bisa mempengaruhi kesejahteraan kelompok itu. Di Indonesia, BLT diberikan saat terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang akan mempengaruhi harga-harga secara umum. 
Dalam hal ini BLT dianggap tidak signifikan dalam mengatasi masalah rakyat dalam menghadapi pasca kenaikan harga BBM. Hal ini disebabkan pemberian BLT senilai Rp 100.000 per bulan ibarat memberikan ikan kepada sekelompok orang kelaparan. Karena dana yang di berikan bisa saja habis begitu saja dan tidak menyisakan bekas sedikitpun. Fungsi BLT disina adalah untuk menjaga tingkat konsumsi kelompok termiskin yang umumnya tidak punya mekanisme lain seperti tabungan atau akses ke pinjaman untuk menjaga tingkat konsumsi, ketika guncangan ekonomi terjadi Apabila BLT nilainya besar dan merata serta kontinu, bisa menjadi “aspirin” atas dampak kenaikan BBM. Meskipun secara sosial-kultural instrument BLT ini jauh dari edukasi kemandirian. Namun, dengan skenario BLT sebesar 100 ribu/bulan, ditambah minyak goreng dan gula, kebijakan ini tidak akan mampu sebagai “aspirin” karena kenaikan beban ikutan akan lebih tinggi dari nilai kompensasi BLT. Belum lagi, potensi keresahan sosial bisa muncul kembali akibat distribusi BLT yang tidak tepat sasaran.
. Maka dari itu, yang di perlukan masyarakat saat ini adalah terbukanya lapangan kerja yang akan menjamin penghasilan dan mendongkrak daya beli rakyat. Selain itu pula, pemberian BLT senilai Rp 100.000 tidak cukup signifikan untuk mencegah orang jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Akan tetapi, lebih signifikan bila pemerintah memperhatikan segala aspek pelayanan public yang di akses oleh masyarakat, seperti halnya pada pelayanan kesehatan dan pendidikan secara gratis atau merancang program padat karya untuk memperbaiki sarana transportasi yang hancur. Hal ini bertujuan untuk mencapai tingkat kualitas layanan yang sesuai dengan tuntutan, harapan dan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat akan merasa puas serta tidak mengeluh.
Hal serupa dikemukakan Oliver (dalam Supranto, 2001: 233) bahwa : Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapannya. Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan akan kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan, pelanggan akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan, pelanggan akan sangat puas. Harapan pelanggan dapat dibentuk dari pengalaman masa lalu, komentar dri kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya. 
Merujuk pada pemikiran di atas maka kualitas pelayanan kepada masyarakat yang baik mempunyai variabel; keandalan, jaminan, bukti langsung, mutu, kecepatan, kepuasan masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah.diharapkan seluruh unsur pelayanan yang diterima sedikitpun tidak menimbulkan keluhan bagi masyarakat yang dilayani serta masyarakat merasa puas.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan kepada masyarakat adalah budaya kerja melalui dimensi sikap, perilaku yang akan memberikan harapan dan kepuasan kepada masyarakat dari hasil proses pelayanan yang mereka terima dari aparat pemerintah. Dengan memahami pendekatan teori-teori di atas, diharapkan bukan hanya pemberian BLT yang berlangsung sesaat dan hanya memberikan manfaat sesaat juga. Tapi lebih dari itu. Seharusnya pemerintah memberikan penyelesaian berbagai masalah ekonomi masyarakat miskin yang berorientasi pada masa yang akan datang. Pemerintah harus mampu menciptakan terobosan melalui berbagai kebijakan ekonomi (perbaikan pada sektor bisnis, investasi dan perpajakan) dan kebijakan publik (perbaikan di bidang pelayanan, keamanan dan prasarana). Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pemberian BLT tersebut memberikan angin ’’surga’’ sebentar kepada segelintir masyarakat.  
Kesimpulannya adalah di lapangan program BLT banyak yang tidak tepat sasaran dan harus di kelola dengan lebih baik lagi. Menurut pandangan yang saya hipotesiskan seandainya BBM naik. Tentu dampak sosial untuk masyarakat kelas bawah akan sangat besar, jumlah rakyat miskin tentu akan makin bertambah, lalu kemudian tingkat kejahatan pasti akan juga ikut meningkat. Kemudian siapa yang akan dirugikan? Tentu kita semua.
Bagi saya solusi yang mungkin tepat, adalah dengan tidak menaikkan BBM, kemudian memperbaiki fasilitas publik hingga mampu membuat masyarakat beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Lalu kemudian, membuat mahal pajak kendaraan pribadi, hingga nanti akan berdampak pengurangan konsumsi penggunaan bahan bakar minyak. Untuk program BLT, boleh-boleh saja apabila program ini masih tetap dilanjutkan ketika terjadi guncangan ekonomi (BBM naik atau bencana alam ex: letusan gunung merapi) asalkan system pendataan rakyat miskin lebih diperhatikan kembali sehingga bisa dijalankan tanpa adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Kecelakaan Silih Berganti -Jannes Audes Wawa-


Artikel 2

Transportasi memiliki peranan penting sebagai penunjang pertumbuhan perekonomian suatu daerah dan sebagai pendukung pengembangan wilayah. Sesuai dengan fungsi dan peranannya, transportasi merupakan hal yang sangat vital dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan, lebih-lebih di era globalisasi saat ini. Namun terkait masalah timbulnya kecelakaan yang terjadi secara beruntun baik darat, laut dan udara hingga membuat ratusan orang tewas dan luka-luka menimbulkan beberapa pertanyaan apakah infrastruktur sector transportasi telah memenuhi standar baik pada system pelayanan, keselamatan serta sarana dan prasarana yang disediakan oleh aparatur negara.

Kecelakaan transportasi baik darat, laut dan udara kerap kali kita dengar dan kita lihat di  beberapa media, baik media cetak maupun media elektronik. Hal ini disebabkan selain dipicu buruknya cuaca yang tidak diantisipasi dengan baik. Namun juga di sebabkan minimnya infrastruktur dan kelalaian petugas departemen perhubungan dalam melakukan pengawasan. 

Dalam artikel berikut PT Kereta Api menjadi perhatian untuk dibahas, dimana dikatakan bahwa kereta merupakan sarana transportasi yang terbilang cukup aman dibanding sarana transportasi yang lain. Namun saat ini paradigma di masyarakat sedikit bergeser terutama setelah beberapa kali terjadi kecelakaan kereta api yang merenggut banyak nyawa. Minimnya infrastruktur yang dimiliki PT KA juga termasuk dari penyebab hal tersebut. Maka dari itu, dalam hal ini lebih di fokuskan kepada buruknya kondisi sarana dan prasarana perkereta apian.  

Tercantum jelas dalam Kep Men Pan RI No 25 Tahun 2009 pada pasal 25 ayat (1) yakni penyelenggara dan pelaksana berkewajiban mengelola sarana, prasarana dan/atau fasilitas pelayanan public secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan/atau penggantian sarana, prasarana, dan/atau fasilitas public. Disini terlihat bahwa pemerintah memiliki kewajiban dalam mengelola serta membenahi sarana, prasarana dan/atau fasilitas pelayanan public secara efektif, dan efisien. Hal ini bertujuan agar kualitas layanan dapat memberikan tuntutan, harapan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan prinsip-prisip yang tertuang dalam pelayanan.

Dalam hal ini, pemerintah telah memberikan kucuran dana baik APBN maupun pinjaman luar negeri untuk perkeretaapian. Kucuran dana yang diberikan sungguh sangat fantastis, yang dimana setiap tahunnya dana tersebut kian meningkat. Misalnya pada tahun 2006  mencapai Rp 2,5 triliun, tahun 2007 dikucurkan lagi Rp 2,7 triliun dan tahun 2008 Rp 3,5 triliun. Namun, nyaris tidak diperoleh hasil positif untuk masyarakat. 
Untuk mengatasi masalah ini, maka diperlukan pembenahan pada kebijakan transportasi dengan membuat UU yang mendorong partisipasi swasta dalam bisnis perkeretaapian. Hal ini bertujuan agar infrastruktur sector transportasi PT KA semakin membaik dengan memperbaiki serta membangun sarana dan prasarana perkeretaapian. 

Swastanisasi atau privatisasi  itu sendiri menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN adalah penjualan saham Persero (Perusahaan Perseroan), baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas saham oleh masyarakat.

Privatisasi dilakukan pada umumnya didasarkan kepada berbagai pertimbangan antara lain sebagai berikut :
• Mengurangi beban keuangan pemerintah, sekaligus membantu sumber pendanaan pemerintah (divestasi)
• Meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan
• Meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan
• Mengurangi campur tangan birokrasi/pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan
• Mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri
• Sebagai flag-carrier (pembawa bendera) dalam mengarungi pasar global.

Apabila privatisasi dilakukan terhadap PT KAI, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja PT KAI serta menutup devisit APBN. Dengan adanya privatisasi diharapkan PT KAI akan mampu beroperasi secara lebih profesional lagi. Logikanya, dengan privatisasi di atas 50%, maka kendali dan pelaksanaan kebijakan PT KAI akan bergeser dari pemerintah ke investor baru. Sebagai pemegang saham terbesar, investor baru tentu akan berupaya untuk bekerja secara efisien, sehingga mampu menciptakan laba yang optimal, mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, serta mampu memberikan kontribusi yang lebih baik kepada pemerintah melalui pembayaran pajak dan pembagian dividen.

Sebagian kalangan masyarakat berpendapat bahwa privatisasi kereta api mungkin akan dapat meningkatkan kinerja perkeretaapian sehingga akan berdampak pada pelayanan yang berkualitas dan tentunya keuntungan bagi pihak penyedia layanan ini. Namun privatisasi memiliki konsekuensi yang besar, karena perusahaan swasta berorientasi pada peralihan profit. Dengan demikian, masyarakat kembali akan termarjinalkan karena harga tiket kereta api yang mahal. 

Kemungkinan lebih jauh, sebagaimana Sobandi (2004) menegaskan, adalah pengaruh negatif dalam multiplier effect perekonomian masyarakat. Sebenarnya pilihan dalam pengelolaan bentuk pelayanan publik tidak harus selalu didominasi pemerintah atau swasta, karena ada bentuk lainnya yaitu strategi multiorganisasi. Strategi ini mengumpulkan berbagai bentuk organisasional secara bersama-sama terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Dwiyanto:1996). 

Dalam kasus perkeretaapian, PT. KAI sebagai organisasi kereta api negara dapat berperan lebih baik dalam hal pengurusan masalah administrasi, perizinan lokasi rute, dan pengajuan anggarannya. Sementara itu, perusahaan industri manufaktur milik swasta nasional maupun asing dapat diajak bekerja sama dalam pembagian kerja yang proporsional dalam pembuatan rel, gerbong kereta api, maupun strategi dalam manajemen pelayanannya. Pemerintah dapat belajar dari pihak swasta mengenai penyediaan layanan yang maksimal dan juga mendatangkan keuntungan yang berasal dari semakin baiknya kinerja organisasi. Untuk meningkatkan mutu layanan kereta api, pemerintah dapat memulai dari tampilan fisik kereta api. Hal ini dikarenakan tampilan fisik adalah hal yang pertama kali akan terlihat oleh konsumen dan faktor yang turut menentukan kenyamanan penumpangnya. Selain itu perbaikan rel kereta api dan penambahan rute juga akan meningkatkan minat konsumen untuk menggunakan kereta api sebagai transportasi darat. Demikin pula pelayanan konsumen sepanjang perjalanan juga patut diperhatikan.

Perbandingan system keuangan pada masa orde baru dan reformasi


Perbandingan system keuangan pada masa orde baru dan reformasi berdasarkan aspek pendapatan Negara dan pembiayaan keuangan dalam system nasional.

Sistem Administrasi Keuangan pada masa orde baru dan reformasi

Perbedaan
Sistem Penganggaran
Orde baru : Menggunakan anggaran berimbang dimana diusahakan agar penerimaan dan pengeluaran seimbang
Reformasi : Menggunakan anggaran berbasis kinerja

Tahun anggaran
Orde baru : dimulai tanggal 1 April – 31 Maret
Reformasi : dimula tanggal 1 Januari – 31 Desember

Persamaan
Siklus Anggaran (tidak berubah)
1. Penyusunan RAPBN
2. Pembahasan RUU APBN
3. Pelaksanaan UU APBN
4. Pengawasan UU APBN
5. Pertanggungjawaban Anggaran Negara

Sumber APBN (tidak berubah)
Pendapatan Daerah
Pendapatan Asli Daerah (Pajak Daerah, dan Retribusi Daerah)
Dana Perimbangan
Perusahaan daerah
Dinas daerah
Pendapatan daerah lainnya

Perbedaan Pengelolaan Keuangan Negara Orde Baru dengan Pasca-Orde Baru
Mekanisme Penyusunan Anggaran
Sistem keuangan masa Orde Baru adalah merupakan sistem kuno, warisan dari kolonial yang  menggunakan single entry dimana tidak ada suatu standar pencatatan transaksi Pemerintah untuk keperluan anggaran. Didasarkan atas pengeluaran tunai (berbasis kas) selama tahun anggaran, kewajiban konjensi Pemerintah tidak tercermin dalam APBN Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan membuat Laporan pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan melaporkannya dalam bentuk Rancangan Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN) yang paling lambat lima belas bulan setelah berakhirnya pelaksanaan APBN tahun anggaran bersangkutan.
Sejak disahkannya UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pengelolaan APBN mengalami perubahan dalam proses penganggaran dari sejak perencanaan hingga ke pelaksanaan anggaran. Perubahan tersebut dilakukan karena dalam proses penganggaran yang selama ini berlaku mempunyai banyak kelemahan.
Transparansi dan akuntabilitas fiskal
Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan perombakan sistem sosial yang dilakukan selama era reformasi. Dalam era Orde baru transparansi dan akuntabilitas pemerintahan terpuruk. tidak adanya informasi tentang aset dan hutang negara, dan pengungkapan laporan keuangan pemerintah yang tidak konsisten dan tidak memadai.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, pemerintah era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh. Salah satu upaya yang dilakukan menyusun paket undang-undang keuangan negara yaitu: Undang-undang (UU) nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU nomor 01 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

a. Berdasarkan aspek pendapatan Negara
Sumber pendapatan Negara diperoleh dari berbagai sumber yaitu :
Penerimaan dalam negeri.
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan yang terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.
Pajak dalam negeri :
o Pajak Penghasilan (PPh),
o Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
o Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM),
o Pajak Bumi dan Bangunan(PBB),
o Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) &Cukai,
Pajak perdagangan internasional :
o bea masuk dan pajak/pungutan ekspor

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meliputi
o Penerimaan dari sumber daya alam,
o Setoran laba BUMN,
o Penerimaan bukan pajak lainnya,
Hibah adalah semua penerimaan Negara yang berasal dari sumbangan swasta dalam negeri, sumbangan swasta dan pemerintah luar negeri.

ORDE BARU

Sistem Penganggaran pada masa Orde baru diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran.
Format Sistem Penganggaran pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.
Dalam masa Orde Baru, anggaran rutin dikontrol oleh Departemen Keuangan sedangkan besarnya anggaran pembangunan struktur pembelanjaannya maupun alokasinya adalah dikendalikan oleh Bappenas.
Penerimaan pembangunan dalam Sistem Penganggaran Orde Baru terdiri dari dua sumber.
Sumber pertama adalah ‘penerimaan pembangunan’ yang terdiri dari hibah serta hutang luar negeri, terutama dari negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI/CGI.
Sumber kedua adalah surplus penerimaan dalam negeri setelah dikurangi dengan anggaran rutin.
Dimasa itu, sumber utama penerimaan dalam negeri adalah dari royalti penambangan migas serta eksploitasi hutan maupun sumber daya alam lainnya.
Pada waktu itu, hutang luar negeri disebut sebagai penerimaan pembangunan dan berfungsi untuk menutup defisit APBN agar menjadi “seimbang”.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa Orde baru penerimaan pajak sangat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.

REFORMASI

Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.

Sistem keuangan pada dasarnya adalah tatanan dalam perekonomian suatu Negara yang memiliki peran terutama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa dibidang keuangan oleh lembaga-lembaga keuangan penunjang lainnya misalnya pasar uang dan pasar modal. Sistem keuangan Indonesia pada prinsipnya dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu sistem perbankan dan sistem lembaga keuangan bukan bank.

Lembaga keuangan ini dapat menerima simpanan dari masyarakat, maka juga disebut depository financial institutions yang terdiri dari bank umum dan bank perkreditan rakyat. Sedangkan lembaga keuangan bukan bank adalah lembaga keuangan selain dari bank yang dalam kegiatan usahanya tidak diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan.

b. Pembiayaan keuangan dalam system nasional
Pembiayaan meliputi:
Pembiayaan Dalam Negeri, semua pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri yang meliputi hasil privatisasi, penjualan aset perbankan dalam rangka program restrukturisasi, surat utang negara, dan dukungan infrastruktur,
Pembiayaan luar negeri bersih adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan utang/pinjaman luar negeri yang terdiri dari pinjaman program dan pinjaman proyek, dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok utang/pinjaman luar negeri.
Pinjaman Luar Negeri
o Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek
o Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan Moratorium.

ORDE BARU

Pada hakikatnya, sebagian dari pengeluaran pembangunan dalam masa Orde Baru adalah merupakan supplemen dari pengeluaran rutin. Contohnya adalah biaya perjalanan dan honor pejabat yang langsung terlibat dalam menangani proyek-proyek pembangunan. Perbedaan gaji efektif antar pelaksana dengan non pelaksana proyek menimbulkan kecemburuan diantara pegawai negeri sipil dan anggota ABRI.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.

REFORMASI
Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit anggaran. Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah pembiayaan dalam negeri meliputi penerbitan obligasi, penjualan aset dan privatisasi, Surat Utang Negara dan pembiayaan luar negeri meliputi pinjaman proyek, pembayaran kembali utang, pinjaman program dan penjadwalan kembali utang.

SUN digunakan oleh pemerintah antara lain untuk membiayai defisit APBN serta menutup kekurangan kas jangka pendek dalam satu tahun anggaran.

Dewasa ini, hutang Pemerintah (dari sumber dalam maupun luar negeri) hanya disebut hutang dan tidak lagi dinamakan sebagai ‘penerimaan pembangunan’.

Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negeri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.

Pelayanan Buruk di Kantor Pajak Adji Bintarto


Artikel 1

Buruknya system pelayanan merupakan fenomena yang sering kita bahas di kalangan masyarakat umum. Terkait buruknya pelayanan di kantor pajak adalah salah satu dari sekian fenomena yang ada, hal ini menunjukkan kurangnya kualitas pelayanan yang diberikan pihak aparatur negara kepada masyarakat. Dalam artikel ini, di ungkapkan bahwa masih ditemukan beberapa pelayanan terpadu kantor pajak yang dalam pelayanannya tidak memuaskan, yang dimana sebagian besar petugas melayani tanpa senyum, tanpa mengucapkan terima kasih, tidak ramah, ada yang pada jam pelayanan terlihat memakai sandal jepit di sekitar counter, toilet kotor dan pelayanan lambat. Keadaan yang demikian membuat masyarakat sebagai pengguna pelayanan public menjadi tidak terpuaskan, sehingga masyarakat enggan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan birokrasi. Hal ini dikondisikan dengan pelayanan kepada rakyat tidak ditetapkan pada pertimbangan utama melainkan pada pertimbangan yang kesekian. Sungguh ironis, mengingat kondisi pelayanan yang kian bobrok akan moral yang dimiliki oleh para aparatur pelayanan.

Pelayanan masyarakat yang diselenggarakan pemerintah, walau tidak bertujuan untuk mencari keuntungan (profit) namun tidaklah harus mengabaikan kualitas pelayanan yang diberikan. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh pemerintah melalui aparat pemerintah tetap harus mengutamakan kualitas layanan yang sesuai dengan tuntutan, harapan dan kebutuhan masyarakat.

Dalam contoh kasus ini, proses pelayanan di kantor pajak yang begitu lama, belum lagi prosedur yang berbelit-belit, serta ketidak nyamanan dalam segi fasilitas sarana dan prasarana membuat masyarakat tidak merasa nyaman sehingga ketidak puasan masyarakat ini menimbulkan berbagai keluhan. 

Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal proses pelayanan birokrasi di kantor pajak tidak memiliki prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektivitas dan keadilan. Proses pelayanan public tidak memiliki transparansi, dalam hal waktu, biaya, dan prosedur yang harus dilalui. Kalaupun ada, standar prosedur pelayanan public sering kali hanya menjadi pajangan dan standar formal. Ketidak transparanan prosedur, waktu, dan biaya pelayanan sengaja diciptakan untuk membuat ketergantungan masyarakat pada aparat pemberi pelayanan. Prosedur dibuat secara berbelit-belit agar biaya yang dikenakan kepada masyarakat menjadi lebih mahal. Karena masyarakat tidak memiliki daya tawar terhadap prosedur tersebut. 

Jika dihubungkan dengan administrasi public, pelayanan adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat. Dari kasus ini terlihat jelas bahwa Pelayanan birokrasi kita masih memiliki kualitas yang buruk, rendahnya kualitas pelayanan public di Indonesia umumnya disebabkan oleh rendahnya kapabilitas, kompetensi, dan pengetahuan yang memadai dari aparat birokrasi. 

Kualitas pelayanan berhubungan erat dengan pelayanan yang sistematis dan komprehensif yang lebih dikenal dengan konsep pelayanan prima. Pelayanan prima adalah segala upaya dan kegiatan untuk memuaskan pelanggan sesuai dengan standar yang telah ditentukan, baik yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan pemerintah atau swasta dalam rangka pembangunan dan kemasyarakatan. 

Dalam Sinambela (2010, hal : 6), secara teoritis tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari :
Transparansi
Akuntabilitas
Kondisional
Partisipatif
Kesamaan hak serta
Keseimbangan hak dan kewajiban

Selain itu, aparat pelayan hendaknya memahami variabel-variabel pelayanan prima seperti yang terdapat dalam agenda pelayanan prima sector public SESPANASLAN. (Lukman, 1999 :140). Variabel yang dimaksud adalah
  1. Pemerintahan yang bertugas melayani
  2. masyarakat yang dilayani pemerintah.
  3. Kebijaksanaan yang dijadikan landasan pelayanan public
  4. Peralatan atau sarana pelayanan yang canggih
  5. Resources yang tersedia untuk diracik dalam bentuk kegiatan pelayanan
  6. Kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat sesuai dengan standard dan asas pelayananan masyarakat
  7. Manajemen dan kepemimpinan serta organisasi pelayanan masyarakat
  8. Perilaku pejabat yang terlibat dalam pelayanan masyarakat, apakah masing-masing telah melaksanakan fungsi mereka.


Variabel pelayanan prima di sector public seperti diatas dapat diimplementasikan apabila aparat pelayan berhasil menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utamanya. Agar kepuasan pelanggan yang menjadi tujuan utama terpenuhi, aparatur pelayan dituntut untuk mengetahui dengan pasti siapa pelanggannya.

Selain peningkatan kualitas pelayanan melalui pelayanan prima, pelayanan yang berkualitas juga dilakukan dengan konsep “layanan sepenuh hati” (Patricia Patton) yang merupakan layanan yang berasal dari diri sendiri yang mencerminkan emosi, watak, keyakinan, nilai, sudut pandang, dan perasaan. Oleh karena itu, aparatur pelayanan dituntut untuk memberikan layanan kepada pelanggan dengan sepenuh hati. Layanan seperti ini tercermin dari kesungguhan aparatur untuk melayani. Kesungguhan yang dimaksudkan, aparatur pelayanan menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utamanya. 

Paradigma pelayanan public di Indonesia haruslah diubah. Berbagai fenomena pelayanan public harus diperbaiki, sehingga pelayanan public dapat dioptimalkan. Dengan begitu kesejahteraan masyarakat akan meningkat, pelayanan public cepat dan murah, dengan dilengkapi oleh sarana dan prasarana yang memadai serta adanya keamanan dan kenyamanan dalam melakukan segala urusan birokrasi. Dan akhirnya perlu ditegaskan bahwa pelayanan public adalah pelayanan yang ditargetkan sebagai kepuasan bagi siapapun yang menerimanya. Karena kepuasan pelangganlah yang dapat dijadikan barometer dalam mengukur keberhasilan dalam pelayanan. 


up